Awal 2009, George Akerlof, pemenang nobel ekonomi dari University of California di Berkeley dan Robert Shiller, ekonom dari Yale University, menulis sebuah buku yang berjudul Animal Spirits.
Buku itu mengingatkan kita kepada konsep kuno Keynes: pelaku ekonomi tak hanya bergerak karena didorong oleh motif ekonomi dan perilaku rasional, tetapi juga perilaku tak rasional seperti animal spirits.
Dalam situasi ketidakpastian misalnya, bagaimana keputusan ekonomi dibuat? Di sini peran dari herd behavior berperan. Herd behavior menjelaskan: dalam situasi yang tak pasti, individu dalam sebuah kelompok akan mencoba mengurangi risiko dengan bergerak mengikuti pola kelompoknya. Ingat bagaimana rombongan binatang berlari bersama-sama mengikuti kepala kelompoknya ?
Tindakan ini dilakukan bersama-sama, tapi tanpa koordinasi. Inilah yang disebut Keynes sebagai animal spirits. Kita bisa melihat pola ini di pasar keuangan. Dalam situasi panik, ketika sebuah produk keuangan mulai dilepas dan harga jatuh, berduyun-duyun orang akan menjual produk tersebut – sering tanpa sepenuhnya memiliki informasi lengkap tentang produk tersebut.
Begitu juga ketika terjadi panic buying, orang berduyun-duyun membeli produk tertentu. Animal spirits dengan kata lain adalah komponen emosional yang tecermin dalam kepercayaan konsumen (consumer confidence).
Confidence & bangkit
Di sini peran dari confidence akar katanya adalah fido dari bahasa Latin yang artinya saya percaya menjadi amat penting di dalam keputusan ekonomi. Dan kita tahu: konsep kuno dari Keynes tentang animal spirits tetap relevan pada hari ini.
Tengok saja, setelah pesimisme melanda dunia sejak paruh kedua tahun lalu, tiba-tiba kita melihat tanda-tanda ekonomi dunia mulai membaik. IMF di dalam World Economic Outloook edisi Juli 2009 bahkan telah merevisi pertumbuhan ekonomi global dari 1,9% menjadi 2,5%.
Kepercayaan praktis mulai bangkit, terutama setelah negara-negara anggota G-20 sepakat untuk menggelontorkan dana US$5 triliun dan berbagai intervensi dilakukan di sektor keuangan. Sebenarnya jika kita mau jujur, dampak dari kesepakatan G-20 dan intervensi di pasar keuangan belum sepenuhnya diimplementasikan dan bekerja secara efektif.
Namun, kepercayaan yang ditimbulkan telah mendorong perekonomian ke arah yang lebih baik, persis seperti perilaku animal spirits. Data terakhir menunjukkan kondisi krisis keuangan global sudah mulai mendekati titik terendahnya, meski agaknya terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa krisis ekonomi global telah berakhir.
Di beberapa negara, khususnya Eropa, proses pemulihan dalam sektor keuangan masih berjalan amat lambat. Dengan kata lain, kita sebenarnya masih harus berhati-hati terhadap fluktuasi perekonomian global. Namun kepercayaan yang muncul, telah menjadi faktor yang amat penting untuk perbaikan ekonomi dunia.
Situasi ekonomi dunia yang membaik, jelas akan menolong perekonomian Indonesia pada paruh kedua 2009. Sampai dengan triwulan pertama 2009, data menunjukkan bahwa Indonesia masih bisa tumbuh 4,4%, jauh lebih tinggi dari Singapura (-10,1%), Jepang (-9,7%), Thailand (-7,1%) atau Malaysia (-6,2%).
Bersama China dan India, perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh relatif tinggi di tengah krisis global yang sebenarnya jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan krisis keuangan Asia tahun 1998. Tentu pertanyaan yang muncul adalah mengapa ekonomi Indonesia relatif mampu bertahan dan bagaimana kondisi semester kedua? Ada beberapa penjelasan yang mungkin bisa diberikan
Pertama, antisipasi untuk menjaga kestabilan sektor keuangan dan perbankan yang dilakukan pada awal krisis, telah mampu menumbuhkan confidence. Akibatnya kepanikan tak terjadi.
Selain itu reformasi dalam arsitektur keuangan dan perbankan yang dilakukan sejak krisis 1998 telah membuat kondisi perbankan jauh lebih sehat dibandingkan dengan ketika krisis ekonomi Asia terjadi.
Peran dari confidence, amat penting. Keyakinan bahwa sistem keuangan cukup baik telah mencegah capital outflow yang masif. Tentu penjelasan lain adalah, situasi di negara lain tak kurang buruknya, sehingga pengalihan modal ke negara lain, juga tak menguntungkan.
Kedua, struktur ekonomi domestik yang cukup besar, di mana peran dari konsumsi rumah tangga mencapai lebih dari 60% dan peran dari ekspor hanya sekitar 29% telah membuat Indonesia relatif terlindungi dari krisis ekonomi global. Negara seperti Singapura atau Malaysia yang memiliki rasio ekspor yang amat besar terhadap PDB jelas mengalami dampak yang serius.
Ketiga, dampak dari stimulus fiskal. Studi yang saya lakukan bersama Prof Gustav Papanek dari Boston/Harvard University menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun ini, mungkin bisa dipertahakan 4,4% jika stimulus fiskal dijalankan.
Yang menarik, persetujuan parlemen untuk stimulus fiskal sebenarnya baru terjadi beberapa bulan terakhir, karena itu realisasinya masih rendah. Lalu mengapa ekonomi masih bisa tumbuh ? Di sini mungkin peran dari penurunan tarif pajak menjadi penting.
Desain fiskal
Debat yang berlangsung di Indonesia sebelumnya adalah tentang desain dari stimulus fiskal: pemotongan pajak atau penambahan belanja yang akan efektif. Secara teoretis yang paling optimal adalah peningkatan belanja. Namun, kita harus realistis penyerapan belanja masih menjadi persoalan. Dalam situasi seperti ini, penurunan pajak bisa menolong mendorong perekonomian.
Karena itu kebijakan stimulus fiskal dengan kenaikan gaji, tambahan pendapatan bagi guru dan juga potongan pajak untuk pendapatan individu, serta kenaikan threshold untuk penghasilan tidak kena pajak (PTKP) relatif efektif karena beberapa hal.
Pertama, karena marginal propensity to consume masyarakat Indonesia masih relatif tinggi, sehingga tambahan pendapatan cenderung akan digunakan untuk belanja. Selain itu di Indonesia ada hambatan likuiditas. Akses kredit ke bank amat terbatas, sehingga tak mudah memperoleh pinjaman. Dalam kondisi seperti ini, tambahan pendapatan dari pemotongan pajak atau honor guru akan digunakan untuk belanja karena akan menambah uang kas untuk transaksi ekonomi.
Selain itu Indonesia adalah ne-gara dengan struktur demografi, di mana penduduk usia muda relatif besar. Penduduk muda akan cenderung untuk lebih konsumtif, karena penduduk usia muda (early career) membutuhkan pengeluaran yang banyak untuk membeli rumah, motor, mobil dan barang tahan lama lainnya.
Berbeda dengan Amerika Serikat, di mana penduduk usia lanjut yang lebih dominan. Mereka yang berusia lanjut akan lebih cenderung menabung, karena tak ada lagi arus pendapatan dan tak banyak lagi kebutuhan konsumsi seperti penduduk muda di awal karier.
Agaknya data cukup mendukung ini. Walau tentunya dampaknya relatif terfokus kepada mereka yang memiliki NPWP. Karena itu tidak bisa tidak, untuk dampak yang lebih luas, belanja pemerintah untuk stimulus menjadi mutlak.
Perbaikan yang terjadi pada triwulan kedua 2009, sedikit banyak adalah kontribusi kebijakan tersebut. Tentunya, argumen ini membutuhkan pengujian ilmiah yang lebih ketat nanti. Akan tetapi yang jelas, data menunjukkan bahwa pertumbuhan PPN domestik telah menunjukkan tanda-tanda peningkatan. Artinya transaksi mulai meningkat, yang menunjukkan aktivitas perekonomian dari sisi permintaan yang mulai bergerak.
Konsisten dengan hal ini, survei kepercayaan konsumen juga mulai meningkat, begitu juga dengan konsumsi listrik. Semua indikator dini ini menjadi penanda awal, bahwa dengan inflasi yang relatif terkendali (hanya 3,65%, year-on- year pada bulan Juni 2009), daya beli dapat dijaga.
Sejalan dengan perbaikan ekonomi global, ekspor juga-walau masih lambat-akan mulai membaik. Tentu hal yang membantu juga adalah konsumsi pemerintah yang tumbuh relatif tinggi dalam triwulan pertama tahun 2009.
Yang harus diperhatikan adalah bahwa pertumbuhan impor masih negatif dan turun cukup tajam. Impor barang modal masih mengalami pertumbuhan –5,2%, sedangkan impor bahan baku -42,6%. Implikasinya investasi akan mengalami penurunan pada tahun 2009 ini. Namun, yang menarik, impor barang modal dalam periode Mei 2009 dibandingkan dengan April 2009 telah tumbuh positif sebesar 26,3%. Artinya perbaikan investasi mungkin mulai akan terjadi pada triwulan keempat tahun 2009.
Tanda-tanda perbaikan di semester kedua memang mulai terlihat. Pemilu yang berjalan lancar juga mendorong optimisme ini. Namun ada beberapa hal yang perlu dicatat: ekspektasi perlu di kelola, agar tak berlebihan. Masalah ekonomi tak bisa diselesaikan dalam satu malam.
Ekspektasi yang berlebihan bahwa ekonomi telah pulih, justru dapat mengganggu kepercayaan. Managing the expectation adalah kunci. Selain itu kita juga melihat pertumbuhan permintaan tampaknya lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan kapasitas produksi. Karena itu, dalam pemerintah ke depan program perbaikan sisi penawaran seperti infrastruktur dan juga perbaikan iklim usaha menjadi kunci.
Hanya dengan ini, kendala supply dapat diatasi dan pemulihan ekonomi dapat berjalan dengan baik.
Tentunya hal ini harus tetap dikombinasikan dengan menjaga stabilitas makro, untuk mencegah animal spirits tak terkendali. Di sini, pesan oleh Akerlof dan Shiller menjadi penting: regulasi pemerintah dibutuhkan untuk mencegah agar animal spirits tak mengalahkan perilaku rasional.
Oleh Muhammad Chatib Basri
Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat FEUI
0 komentar:
Posting Komentar